Pengesahan UU Minerba: Kecurangan saat Corona, Berpihak pada Korporat Batu Bara

DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) menjadi UU Minerba yang sah pada 12 Mei. Pengesahan UU yang diyakini menguntungkan taipan ini menuai kritik, apalagi disahkan di tengah pandemi virus corona.

Peraturan tersebut juga dinilai akan menguras energi fosil dari batubara tanpa mempertimbangkan laju emisi gas rumah kaca. Krisis iklim akan merampas masa depan anak muda.

“Harusnya saat pandemi seperti ini adalah momen yang tepat bagi pemerintah untuk merefleksi kembali kebijakan ke arah yang lebih lestari,” kata anggota Komunitas Climate Rangers Jakarta, Djajanti, dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan, Jumat (15/5).

RUU Minerba menjadi salah satu rancangan UU yang ditolak dalam aksi bertajuk Reformasi Dikorupsi pada September 2019 lalu. Sebab, UU Minerba rentan penyelewengan dan konflik kepentingan serta semakin membuka ruang bagi industri ekstraktif merusak lingkungan hidup secara masif.

Salah satu penggerak Jeda untuk Iklim Makassar, Andi Budi Saisar, menegaskan, UU Minerba merupakan produk hukum yang cacat. Buktinya, kata Andi, naskah akademis dan draft RUU terkesan ditutupi.

“Saya kecewa. Mereka tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan, hanya berpihak kepada korporat batu bara,” ucapnya.

Perwakilan anak muda lainnya yang tergabung dalam Enter Nusantara, Elok F. Mutia, juga mengemukakan hal serupa. Ia merasa suara rakyat sama sekali tidak didengar.

"Mereka seharusnya sadar, pesan yang disampaikan secara ‘langsung’ merupakan pemberitahuan bahwa tindakan mereka mengesahkan RUU Minerba di tengah situasi pandemi ini adalah kecurangan. Sayangnya, mereka memilih untuk abai," ucapnya.

"Yang lebih buruk, mereka melabeli penyampaian aspirasi sebagai sebuah teror. Lembaga yang seharusnya menjadi pembawa pesan rakyat, kini malah menjadikan rakyat sebagai korban. Pengesahan RUU Minerba ini akan menjadikan krisis iklim semakin nyata. Saat ini yang dibutuhkan adalah fokus melindungi, bukan menambah derita rakyat,” tuturnya.Sisilia Dewi, Koordinator 350.org Indonesia, memutar memori pada krisis ekonomi 1998. Saat itu, negara banyak menerbitkan peraturan yang memprivatisasi aset negara.

“Hari ini, sejarah itu berulang. Pengusaha tambang memanfaatkan momen krisis ini untuk memudahkan kelancaran bisnisnya. Padahal, keran industri batubara seharusnya segera ditutup setelah Perjanjian Paris diratifikasi,” ungkapnya.

"Cukong batubara, bagi anggota DPR lebih punya tempat khusus. Sementara, sains dan pendapat ilmuwan ada di urutan paling belakang dalam ruang rapat di Senayan," tambahnya.

UU Minerba yang baru menyelipkan kepentingan para taipan tambang batu bara. Sejumlah pasal disinyalir memudahkan perpanjangan izin operasi untuk perusahaan-perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B) yang kontraknya akan berakhir pada tahun ini hingga 2025.

Dalam Pasal 169A, para pemegang PKP2B dapat diberi perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebanyak 2 kali 10 tahun. Ketentuan ini tidak ada dalam UU Minerba yang lama.

Kemudian di Pasal 169B, diatur bahwa pemegang PKP2B dapat meminta perpanjangan 5 tahun sebelum kontraknya berakhir. Sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan PKP2B baru dapat diberikan paling cepat 2 tahun sebelum berakhirnya kontrak.

Sehingga, pemegang PKP2B bisa segera memperoleh perpanjangan dalam bentuk IUPK tanpa melalui lelang. Sementara BUMN tidak mendapat prioritas untuk mendapatkan wilayah eks PKP2B.

Kini, UU Minerba sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi. Beberapa yang disoroti adalah proses pembahasan RUU yang kerap digelar tertutup, pasal-pasal yang menjamin perpanjangan izin bagi pengusaha batu bara besar, hingga penghilangan pidana bagi perusahaan yang melanggar.

Sumber : Kumparan.com

Bagikan Ke: